Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-edit-template-blog-agar-seo.html#ixzz1hj3YVJod

SEMAKIN BANYAK TAHU SEMAKIN SUKSES SESEORANG!

SEMAKIN BANYAK TAHU SEMAKIN SUKSES SESEORANG!
Zero to Hero :D
Tampilkan postingan dengan label Islam memandang wanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam memandang wanita. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Januari 2012

Permainan Yang di Sukai Wanita

Permainan Yang di Sukai Wanita


Semua wanita pasti pengen punya pasangan seorang pria yg baik dong, tapi sayangnya banyak pria2 yg baik hati itu juga membosankan hehehe...Maka supaya hubungan tidak menjadi membosankan, para cowok harus tahu beberapa permainan yang disukai oleh para wanita.

1. Wanita suka dengan seorang pria yg unpredictable.
Misalnya kamu ditanya "Kamu kerja apa sekarang?"
Jangan berikan jawaban standar yg membosankan seperti "Ow gue ini akuntan yang bertugas membuat pembukuan dan menghitung bla..bla..bla..."
Sebagai gantinya jawab saja dengan bercanda "Gue kerja di kebon binatang jadi pelatih Kuda Nil..."
Biasanya cewek akan tertawa dengan jawaban ini lalu mendesak lebih lanjut "ah serius dong,lu kerja dimana?"
Jangan menyerah dan terus saja ajak bercanda...

2. Jangan terlalu mudah memberikan apa yg diinginkan oleh wanita.
Misalnya, wanita suka mendengar kalimat "I love U", maka jangan terlalu mudah memberikan kalimat ini, buat dia berusaha keras sampai agak desperate dulu untuk memperoleh kalimat ini dari kita.
Sebaliknya kalau si ce itu duluan yg bilang "aku sayang banget sama kamu", jangan beri jawaban standar seperti "aku juga" atau "i love u too"
tapi justru lihat dia dengan agak mengejek dan katakan "gue tau..."
(wuaaaah !!! lu cool banget dimata cewek lu !!)

3. Wanita suka bermain.
sayangnya para pria lebih suka srudak sruduk, yang penting cepat mencapai tujuan...
jangan begitu, wanita suka di goda! sudah sejak taman kanak2 wanita suka kalau di gangguin oleh anak2 laki yg iseng2, ini sifat alamiah yg tidak boleh dihapus begitu saja.
caranya pikir sendiri, ada macem2, yg pasti permainan orang dewasa sudah bukan seperti anak2 SD yg bawa2 ulat untuk nakutin temen2 cewek dikelas dsb...
Yah kira2 begitu deh...tapi masalah selanjutnya adalah, biasanya cowok tuh kalo sudah dapetin cewek apalagi sudah merid selama beberapa tahun, biasanya sudah males main2, males becandain atau menggoda pasangannya (bahkan beberapa pria lebih suka menggoda tetangga...)

Senin, 26 Desember 2011

Wanita Haidh dan Nifas Menyentuh dan Membaca Al-Qur’ân 26

Posted by Ummu 'Ammar in Fiqih, Muslimah, Tanya Jawab.
Tags: , , , , , ,
trackback

Oleh: Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah
Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan bagi seorang perempuan yang sedang haidh atau nifas untuk menyentuh mushaf Al-Quran dan membacanya, terlebih khusus di bulan Ramadhan yang penuh berkah, dimana orang-orang mengkhususkannya untuk mengkhatamkan Al-Quran?
Jawab:
Aku tidak mengetahui di sana ada larangan tentang hal itu, sedangkan hadits,
“Tidak boleh seseorang menyentuh Al-Quran kecuali yang thahir (suci).”
Maka sebagian mereka (ahlil ilmi pent) ada yang berpendapat bahwa hadits itu adalah mursal. Dan jika sekiranya hadits tersebut dengan berbagai banyak jalannya adalah menjadi shalih (shahih) untuk dipakai sebagai hujjah, maka ia diambil kepada apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani di dalam kitabnya, yaitu Nailul Authar. Beliau mengatakan,
“Tidak boleh disentuh Al-Quran kecuali oleh yang thahir, yakni adalah maksudnya yang muslim. Maka tidak boleh orang kafir menyentuhnya karena Nabi melarang untuk membawa safar Al-Quran ke negeri musuh.”
Dan adapun firman Allah Ta’ala,
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali almuthaharuun.”
Maka yang dimaksud dengan mereka adalah almalaaikat, seperti halnya perkataan Imam Malik di dalam Muwaththa-nya berkata, “Bahwa ayat ini ditafsirkan dengan firman Allah Ta’ala,
“Jangan demikian, sesungguhnya dia (petunjuk di dalam Al-Qur’an) adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya dia mengingatkannya, Dalam lembaran-lembaran (kitab-kitab) yang dimuliakan, Yang ditinggikan lagi disucikan, Di tangan para utusan, Yang mulia lagi (pula) takwa” (QS.’Abasa: 11-16),
Yakni yang dimaksudkan adalah para malaikat. Seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh syaithan-syaithan. Dan tidaklah patut mereka membawa Al-Qur’an itu dan merekapun tidak kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengarkan Al-Qur’an itu.” (Qs. Asy-Syu’aro 26: 210-212)
Sumber: Risalah Ramadhan, Kumpulan 44 Fatwa Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Penerbit Pustaka Ats-TsiQaat Press – Bandung, penerjemah Ibnu Abi Yusuf, Editor Ustadz Abu Hamzah. Ebook compiled by Abu Tilmidz -jazahumullahu khairan-.
Sumber : http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/lain-lain/wanita-haidh-dan-nifas-menyentuh-dan-membaca-al-quran/

Perbedaan Mani Laki-laki dan Wanita

Posted by Ummu 'Ammar in Muslimah.
Tags: , , ,
trackback

Penulis : Redaksi Asysyariah.com
Apakah wanita juga keluar mani sebagaimana halnya laki-laki? Bila ya, bagaimana ciri-cirinya? Dan apa yang harus dilakukan?
(Ummu Fulan di Bumi Allah)
Jawab :
Wanita juga keluar mani sebagaimana laki-laki. Dengan mani itu, muncul sifat identik sang anak, apakah memiliki kemiripan dengan ayah ataupun dengan ibunya.
Ketika ditanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:
نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ؟
“Iya, darimana adanya persamaan anak (dengan ayah atau ibunya kalaupun bukan karena mani tersebut)?” (Shahih, HR. Muslim no. 310)
Namun mani wanita berbeda dengan laki-laki, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita tipis/ halus dan berwarna kuning.” (Shahih, HR. Muslim no. 310, 315)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun mani wanita berwarna kuning, tipis/ halus. Namun terkadang warnanya bisa memutih karena kelebihan kekuatannya. Dan mani wanita ini bisa ditandai dengan dua hal: pertama, aromanya seperti aroma mani laki-laki. Kedua, terasa nikmat ketika keluarnya dan setelah keluarnya, syahwatpun mereda.” (Syarah Shahih Muslim, 3/223)
Sebagaimana halnya laki-laki, bila seorang wanita keluar mani, karena senggama maupun ihtilam (mimpi senggama), maka ia wajib mandi. Hal ini pernah ditanyakan oleh Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika datang menemui Rasulullah, Ummu Sulaim berkata:
فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ, إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Apakah wanita harus mandi bila ia ihtilam?” Rasulullah menjawab: “Ya, apabila ia melihat keluarnya mani.” (Shahih, HR. Muslim no. 313)
Dalam Al-Majmu’ (2/158), Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama sepakat wajibnya seseorang mandi bila keluar mani, dan tidak ada perbedaan di sisi kami apakah keluarnya karena jima’ (senggama), ihtilam, onani, melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat, ataupun keluar mani tanpa sebab. Dan sama saja apakah keluarnya dengan syahwat ataupun tidak, dengan rasa nikmat atau tidak, banyak ataupun sedikit walaupun hanya setetes, dan sama saja apakah keluarnya di waktu tidur ataupun di waktu jaga, baik laki-laki maupun wanita.”
Sumber : http://www.majalahsyariah.com/print.php?id_online=166

Wanita-wanita yang tidak Pantas untuk Dinikahi

Oleh:Syaikh Salim Al-Ajmi Hafizahullah Ta’ala
Egg
Kami bercanda ria dengan gadis-gadis dan merajut tali cinta dengan mereka, akan tetapi ketika kami hendak menikah, sama sekali kami tidak berfikir tentang gadis yang sudah menerjang pagar etika dan berkenalan dengan seorang pemuda yang asing darinya tanpa mengenal rasa malu atau risih… Mungkin Anda merasa keheranan dengan kata-kata ini, akan tetapi kami memandang hubungan kami dengan sebagian gadis sebagai hiburan semata…dan kalau kami hendak menikah, maka kami memandang dengan pandangan yang serius dan penuh kehati-hatian…”
Ini adalah kata-kata kebanyakan pemuda nakal, mereka berkenalan dengan para gadis dan mengikat tali hubungan yang diharamkan dengan mereka, akan tetapi mereka tidak pernah berfikir untuk menjadikan mereka sebagai istri…Bahkan mereka menganggap gadis-gadis tersebut tidak pantas untuk itu…
H.M.L berkata:”Aku tidak pernah memaksa seorangpun dari mereka untuk berbicara dan menjalin hubungan denganku. Dan sungguh aku tidak akan membiarkan saudari-saudariku melakukan hal ini, karena mereka bukanlah termasuk jenis ini (wanita murahan) yang aku kenal dengan baik…
Karena mereka yang suka bercanda dengan para pemuda melalui telephon hanyalah gadis murahan yang ada di jalanan…Seandainya mereka memiliki keluarga laki-laki, niscaya mereka akan menjadi bendungan yang kokoh dari terjerumusnya mereka ke dalam jurang yang bahaya ini”, selesai.
S.D –dia adalah pemuda yang baru berusia 21 tahun- berkata:”Aku sampai beberapa waktu lalu masih suka bercanda dengan sebagian gadis-gadis lewat telephon, akan tetapi sekarang aku tidak mau melakukannya lagi. Hal ini dikarenakan seorang pemuda pada masa-masa dini dari umurnya seperti ini, jiwanya sangat labil, kepribadiannya lemah. Oleh karena itu sangat mudah untuk terpengaruh atau meniru temannya, dan hal inilah yang aku alami.
Ketika aku mendapatkan seluruh temanku selalu bercanda dengan para gadis melalui telephon dan mereka memiliki pacar, akupun tergelincir di saat berusaha untuk meniru mereka!! Terus terang, gadis-gadis yang suka bercanda dengan laki-laki lewat telephon akhlaknya sangat rendah, walaupun aku menganggap hal ini adalah hal yang biasa, akan tetapi aku tidak rela bila saudari-saudariku melakukannya. Karena gaya hidup ini tidaklah ditempuh kecuali oleh wanita-wanita jalang”, selesai.
Kesimpulan ini bukanlah suatu hal yang aneh, karena seorang wanita yang berani untuk berkenalan dengan lelaki dan bercanda dengannya lewat telephon serta berjalan-jalan dengannya sekehendak hati adalah “wanita murahan”…bukan hanya di mata orang yang beragama saja, bahkan di mata para pemuda nakal sendiri…Kalau Anda bertanya kepada kebanyakan pemuda tersebut, Anda akan mendapatkan jawaban yang sama:”Siapa yang dapat menjamin kalau dia tidak akan berkenalan dengan lelaki lain setelah aku menikahinya?”.
Kita senang mendengar semangat para pemuda seperti ini, akan tetapi sangat disayangkan mereka hanya berfikir untuk diri sendiri dan tidak mau memikirkan saudara mereka sesama muslim. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya apabila engkau mencari-cari aib orang lain, maka engkau telah atau hampir merusak mereka” (HR. Abu Dawud. Lihat Shahih Jaami’ush Shohgir no. 2295).

Kita berharap dari mereka agar mau menakar dengan satu takaran bukan dengan dua takaran. Kemudian masih ada akibat yang pasti didapatkan yang terlalaikan oleh gadis penyeleweng ini, akan tetapi tidak lama lagi dia akan melihatnya sebagai kenyataan…Kenyataan ini diutarakan sendiri oleh para pemuda, yaitu mereka tidak pernah berfikiran untuk menjadikan gadis-gadis jenis ini sebagai istri, bahkan hanya sekedar terminal untuk hiburan.
Kalaupun sempat ada seorang pemuda disaat melamun berfikir untuk menikah dengan gadis yang terjalin dengannya”tali…” niscaya pihak-pihak lain akan campur tangan dan melarangnya untuk menikah dengan gadis ini. Mereka adalah keluarganya, apabila mereka adalah keluarga yang memiliki pamor yang baik…
Seorang gadis bernama F.B berkata:”…aku tidak merasa kalau aku telah ketagihan untuk bercanda lewat telephon, padahal aku betul-betul yakin kalau hubungan antara seorang gadis dan lelaki dengan cara seperti ini adalah sebuah kesalahan. Hubunganku dengan salah seorang pemuda berlanjut sehingga bersemilah benih cinta, akan tetapi keluarganya melarangnya untuk melamarku, kemudian berakhirlah kisahku dengannya…”, selesai.
Apabila gadis ini telah mengetahui hasil yang pasti dia dapatkan, lalu kenapa dia tidak berhenti semenjak awal dan menutup pintunya dari terpaan badai fitnah yang menyambar-nyambar?!
Ini adalah pengakuan dari para pemuda yang telah mencoba untuk meniti jalan yang penuh dengan penghianatan, janji palsu, serta kata-kata kotor. Dan pengakuan dari para gadis yang pernah mencoba jalan yang sama, mereka semua mengakui akan bahayanya jalan yang mereka lalui, serta hasil negative yang sudah menanti mereka.
Ini sangat jelas sebagai pertanda terbaliknya pandangan para pemuda terhadap para gadis serta sikap mereka yang menganggap gadis-gadis tersebut bersifat sangat jelek dan rendah. Sedang mereka tidak rela kalau saudari-saudari mereka seperti gadis-gadis tersebut. Ini adalah bukti bahwa mereka menganggap gadis-gadis tersebut sebagai perempuan murahan, tidak punya kehormatan dan rasa malu, serta rusak moral mereka…
Dan ini juga adalah gambaran seorang gadis yang terbalik, gadis yang hanyut dalam pacaran, padahal dia menyadari kalau dia hanya sebagai alat hiburan (pengisi kekosongan) dalam kehidupan pemuda tersebut. Dia tidak akan naik martabatnya menjadi seorang istri…Dimana letak sikap jujur terhadap diri sendiri dan kemandirian sikap?!
Bertaqwalah kepada Allah karena taqwa kepada Allah tidaklah
Masuk di hati seseorang kecuali dia akan berhasil
Bukanlah pahlawan orang yang berhasil memotong jalan
Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Allah dialah pahlawan

Sumber: Dlohiyah Mu’aakasah

Tanggung Jawabmu di Rumah Suamimu

osted by Ummu 'Ammar in Keluarga, Muslimah.
Tags: , , ,
trackback

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
RumahMinimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari,sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam  rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!
Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang?
Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.
Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ
زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka.
Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya.
(Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala Negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga
syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.
Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang
semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:
مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ
“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas )
Dan juga hadits:
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)
Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya
dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=625

Hukum keputihan

Posted by Ummu 'Ammar in Muslimah, Tanya Jawab.
Tags: , , ,
trackback

Oleh : Al-Ustadz ‘Abdul Barr
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Pada beberapa wanita sering mengalami yang disebut dengan keputihan,yaitu cairan yang keluar dari lubang vagina milik seorang wanita. Secara medis hal ini dapat sebagai tanda suatu penyakit keganasan pada kelamin wanita (jika keluar berlebihan) tapi dapat juga terjadi pada wanita normal (bukan suatu kelainan/fisiologis) misalnya saat sebelum atau sesudah menstruasi atau saat kondisi tubuh terlalu kecapekan. Ana mau tanya apakah hukum dari keputihan itu? Apakah keputihan najis atau tidak? Apakah sampai diharuskan melepas celana dalam saat sholat? Ana mohon penjelasannya… Syukron jazakumullahu khayran
Jawab:
Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh
Berikut ini adalah jawaban dari Al-Ustadz ‘Abdul Barr hafizhahullaahu tentang permasalahan keputihan: Keputihan itu membatalkan wudhu’. Cara menyucikannya dengan membersihkan badan dan pakaian yang terkena keputihan tersebut, kemudian berwudhu’. Jika ia tetap keluar, maka diberi keringanan akan hal tersebut. Demikian dari Al-Ustadz ‘Abdul Barr. Wa iyyaakum wa baarakallaahu fiikum.
Sumber: via email dari Milis AkhwatusSalafiyah, Ummu Muhammad Hasna fii Ternate, Maluku Utara

Hukum Menolak Menikah karena Hendak Dimadu

Oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri
Tanya : Jika seseorang yang hendak berpoligami menghadap kepada seorang ayah untuk menikahi anak wanitanya, lalu sang ayahnya menolak karena hendak dimadu, karena dia memiliki istri yang lain, apakah ini termasuk ke dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam » jika datang kepada kalian orang yang kalian senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya. Jika engkau tidak melakukan, akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan besar?
Jawab : Yang nampak bagiku bahwa hal ini dibangun di atas beberapa perkara :
1) Bahwa wanita yang dilamar tersebut tidak suka dijadikan madu atas wanita yang lain, dia lebih senang sendiri dan tidak menginginkan ada saingan baginya. Ini adalah hal yang bersifat umum yang harus dibedakan dengan orang-orang yang membenci syari’at ini. Seorang wanita tidak suka suaminya menikah lagi dan tidak senang ada wanita sebelumnya yang menjadi saingannya. Ini tidak mengapa. Ini adalah fitrahnya yang sudah menjadi tabi’atnya para wanita yang benci untuk diduakan. Namun apabila dia membenci syari’at ini dan membenci perkara ini, maka berarti dia telah membenci salah satu bagian dari syariat Allah sehingga dia berdosa.
2) Jika si wali yang menolak laki-laki yang melamar tersebut atas dasar apa yang dia pahami dari anak wanitanya bahwa dia tidak mau atau mengerti keadaan wanita tersebut bahwa dia tidak mampu memikul beban poligami, karena dia mengetahui dari wanita itu sifat kecemburuan serta tabi’atnya yang keras, sehingga dia takut lelaki tersebut akan menyakitinya. Maka hal ini juga tidak mengapa. Ini hubungannya dengan kemaslahatan wanita tersebut. Adapun kalau dia membenci syi’ar ini yang berasal dari Allah, maka ia telah terkena hukum sebagai orang yang berdosa, yang dikhawatirkan padanya ancaman Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam yang disebut dalam hadits tersebut. Dan kami katakan : “Bahwa dia menolak seorang muslim yang baik agamanya serta akhlaknya dan dikhawatirkan akibatnya akan buruk, sebab Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam menganjurkan untuk menikahkan seorang wanita dengan lelaki yang baik agama dan akhlaknya. Jika dia menolaknya karena sebab apa yang telah disebutkan, yaitu membenci syi’ar ini, maka menghawatirkan padanya ancaman Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam.
["30 Soal Jawab Seputar Poligami" oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri; Penerbit Pustaka Ats Tsabat Balikpapan; Hal. 37 ]

Nasehat Bagi Muslimah Pengguna Internet


Oleh: Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri Hafizahullah Ta’ala
Soal Pertama: Beberapa akhwat menulis beberapa makalah ilmiah (tentang agama –pent.) di beberapa website, mereka membantah para penulis berkenaan dengan pernyataan-pernyataan mereka. Apa pendapat syaikh tentang perkara ini?
Jawab:
Aku nasehatkan kepada seluruh muslimah, terutama para akhwat salafiyah untuk tidak larut dalam permasalahan ini karena:
Pertama: Apa yang dia lakukan ini menyita waktunya.
Kedua: Perkara ini justru mengekspos dirinya untuk menjadi ejekan dan objek hiburan bagi orang-orang yang ngawur dan berpenyakit hatinya.
Namun apabila dia memang harus melakukan perkara ini, maka hendaknya dia membekali diri dengan mendengar taklim-taklim ilmiyah dari orang-orang yang dikenal keilmuan, kecerdasan, dan pengamalannya terhadap dien. Demikian juga, tidak ada yang mencegahnya untuk menyebarkan ucapan serta fatwa-fatwa para ulama yang mulia sehingga ikhwan dan akhawat lainnya bisa memperoleh manfaat darinya.
Soal Kedua:
Apa hukumnya seorang akhwat berbicara dengan ikhwan atau sebaliknya melalui internet?
Jawab:
Di mana dirimu dari jawaban kami? Kami nasehatkan untuk meninggalkan perkara ini, meninggalkan urusan diskusi, saling bertukar informasi, persepsi, dan urusan perasaan ini sebagaimana yang telah kusebutkan sebelumnya .
Kedua, ini sebagai tambahan untuk jawaban dari pertanyaan Anda, aku katakan bahwa banyak laki-laki yang berpenyakit hatinya masuk ke program-program khusus bagi wanita (mungkin yang dimaksudkan oleh Asy Syaikh seperti mailing list, forum diskusi, atau chatting room yang dikhususkan bagi wanita, wallahu a’lam – pent.) dengan nama wanita, seperti ummu fulan dst., ummu ‘allan dst. Sungguh! Dia menggunakan nama perempuan, dan tujuannya adalah untuk bersenang-senang dengan cara yang membahayakan para muslimah.
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com dari http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd&ID=607)
Sumber:http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/06/
nasehat-bagi-para-muslimah-berkaitan-dengan-internet
http://muslimah-salafiyah.blogspot.com/

Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram


Saudariku Muslimah … . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Apa yang dikatakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan.

Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”

Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidaklah memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)

Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul di atas.

Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan agamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita

Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan “selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.

Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan beliau : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh. Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)

Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)

Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)

Mahram Bagi Wanita

Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)

Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram

Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.

Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab- sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji

Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”

Imam At Tirmidzi rahimahullah tekah meringkas sebuah jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama) masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya … .”

Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil- dalil yang ada, tampak padaku bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi, dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu A’lam.”

Fatwa-Fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan fatwa berkaitan dengan hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan :

1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?

Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :

Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak boleh seorang laki- laki ber-khalwat dengan wanita lain dan tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”

Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya, walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143) ]

2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?

Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan padanya untuk meningalkan perang dan melaksanakan haji bersama istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :

“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”

Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”

Atau : “Bersama tetangganya?”

Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram. ]

Wanita Keluar Menuju Pasar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafidhahullah pernah ditanya : “Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”

Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarangnya. ]

Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.

Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang membawanya ke tengah kota (belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab : [ Tidak boleh seorang wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat (berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”

“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”

Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila di sana tidak ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ]

Penutup

Saudariku Muslimah …….. .

Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”

Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada suaminya.

Ali radhiallahu ‘anhu pernah berkata :

“Apakah kamu tidak malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki) melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman 171-172)

Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang tinggi.

Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!

Maraji’ :

1. Al Manhiyatul ‘Asyr lin Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said.

2. Al Haribatu ilal Aswaq oleh Asy Syaikh ‘Abdul Malik Al Qasim.

3. As’ilah Muhimmah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin.

4. Jami’ Ahkamun Nisa’ oleh Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.

5. Massuliyyah Al Mar’ah Al Muslimah oleh Asy Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah.

6. Majmu’ah Durus Fatawa (Harami Makki) oleh Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz.

Gambaran Pria Muslim di Rumahnya

Oleh: Al-Ustadz Abu Mu’awiyah
Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَزْهَرَ اللَّوْنِ كَأَنَّ عَرَقَهُ اللُّؤْلُؤُ إِذَا مَشَى تَكَفَّأَ وَلَا مَسِسْتُ دِيبَاجَةً وَلَا حَرِيرَةً أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا شَمِمْتُ مِسْكَةً وَلَا عَنْبَرَةً أَطْيَبَ مِنْ رَائِحَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat wangi kulitnya dan keringatnya bagaikan kilau mutiara. Apabila beliau berjalan, maka langkahnya terayun tegap. Sutera yang pernah saya sentuh tidak ada yang lebih halus daripada telapak tangan beliau. Minyak misk dan minyak ambar yang pernah saya cium, tidak ada yang melebihi semerbak wanginya daripada tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari no. 3561 dan Muslim no. 2309)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata:
خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ وَاللَّهِ مَا قَالَ لِي أُفًّا قَطُّ وَلَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَهَلَّا فَعَلْتَ كَذَا
“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, selama itu beliau tidak pernah berkata ‘husy’ kepadaku. Beliau tidak pernah berkomentar tentang sesuatu yang aku lakukan dengan ucapan, “Kenapa engkau melakukan itu?!” “Kenapa kamu tidak mengerjakan itu?!” (HR. Muslim no. 4269)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata;
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلَّا تَرَكَهُ
“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencela suatu makanan sekalipun. Jika beliau menyukainya maka beliau memakannya, dan bila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Penjelasan ringkas:
Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan contoh dan suri tauladan terbaik bagi setiap lelaki dalam seluruh aspek kehidupannya, termasuk di dalamnya dalam perkara-perkara duniawi. Beliau adalah salaf (pendahulu) terbaik bagi seorang ayah terhadap anaknya, salaf terbaik bagi seorang suami kepada istrinya, dan salaf terbaik seorang majikan kepada pelayannya.
Beliau bukanlah suami yang menjadi beban atas istri dan keluarganya, karenanya walaupun beliau adalah seorang kepala negara yang wajib ditaati oleh rakyatnya, bahkan seorang nabi yang wajib dimuliakan oleh umatnya, walaupun dengan semua posisi tersebut, beliau tetap bekerja di dalam rumahnya dan membantu pekerjaan istri-istrinya sebagai bentuk tanggung jawab suami kepada istri. Beliau tidak menjadikan posisi beliau tersebut sebagai alasan untuk bermalas-malasan dalam mencari nafkah atau menunggu belah kasih dari umat, tidak sama sekali. Beliau sama sekali tidak menjadikan dakwah sebagai profesi yang dengannya beliau bisa mendapatkan harta dari mad’u (yang didakwahi) beliau. Hal itu karena beliau sendiri telah menegaskan sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur`an yang artinya, “Aku tidak pernah meminta upah dari kalian, upah atas dakwahku hanyalah dari Allah.”
Sebagai seorang suami, beliau memperlakukan para istri beliau dengan baik. Beliau memperlakukan mereka sebagaimana yang beliau senang diperlakukan seperti itu. Beliau tidak menyakiti mereka dengan sesuatu yang beliau tidak senang untuk disakiti dengannya. Karenanya beliau sekalipun tidak pernah mencela makanan yang dibuat oleh istrinya walaupun mungkin tidak sesuai dengan selera beliau. Beliau sangat menghargai usaha para istri beliau sebagaimana para istri beliau menghargai usaha beliau mencari nafkah. Suami adalah pemimpin mutlak dalam rumah tangga, yang di antara haknya adalah istri wajib melayaninya setiap kali dia mengajak istrinya untuk melakukan hubungan yang berkenaan dengan suami istri. Hanya saja, hak tersebut tidak menjadikan beliau zhalim kepada istri-istri beliau. Karenanya beliau shallallahu alaihi wasallam senantiasa menjaga agar tubuh beliau tetap harum dan bersih walaupun sedang berada di rumah bahkan walaupun sedang tidak sedang akan melakukan hubungan intim. Karena sebagaimana suami sangat senang jika istrinya berpenampilan indah dan bersih, maka demikian pula sebaliknya istri sangat senang jika suaminya berpenampilan indah dan bersih. Inilah di antara bentuk pengamalan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan para istri berhak mendapatkan hak sebagaimana mereka juga memiliki kewajiban, dengan cara yang ma’ruf.”
Adapun selaku atasan atau majikan dalam pekerjaan, maka tidak perlu ditanya bagaimana sikap bersahabat beliau kepada bawahan atau pelayan beliau, dan bagaimana tingginya apresiasi beliau kepada mereka. Beliau tidak pernah memukul mereka, tidak pernah menghardik mereka, dan tidak pernah mengkritisi apa yang mereka kerjakan, baik pekerjaan mereka itu tepat maupun kurang tepat. Karenanya sangat wajar jika Anas bin Malik radhiallahu anhu betah melayani beliau sampai 10 tahun lamanya. Itupun hubungannya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam berakhir bukan karena dia dipecat atau mengundurkan diri, akan tetapi karena Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih dahulu meninggal. Tengok juga bagaimana salah seorang pelayan beliau yang beragam Yahudi, di akhir hidupnya masuk ke dalam Islam karena terpengaruh dengan baiknya akhlak beliau selaku majikan. Semua ini sebagai pembenaran firman Allah Ta’ala yang menyatakan bahwa kedudukan seorang muslim hanya ditentukan dengan kadar ketakwaannya kepada Allah, selain daripada itu dari urusan duniawi maka mereka semua setara dan sejajar, tidak ada yang lebih rendah daripada yang lainnya.
Subhanallah demikianlah gambaran pria muslim yang sebenarnya. Mereka menyadari betul bahwa mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam semua perkara di atas dan selainnya tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai serang pria, bahkan itu akan mengangkat kedudukannya sebagai seorang pria muslim karena dia telah mencontoh Nabinya yang merupakan panutannya. Seandainya orang-orang non muslim mengetahui keindahan akhlak seorang muslim yang sebenarnya dari seluruh sisinya, maka demi Allah niscaya mereka akan bersegera untuk masuk ke dalam Islam dengan berbondong-bondong guna mendapatkan keutamaannya.
Ya Allah, karuniakanlah kepada setiap lelaki muslim di dunia ini akhlak sebagaimana akhlak Nabi-Mu. Berikanlah kesadaran kepada mereka semua bahwa walaupun memang tidak wajib mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam masalah dunia, akan tetapi beliau tetaplah merupakan tauladan terbaik bagi mereka dalam urusan dunia mereka. Innaka Waliyyu dzalika wal Qadiru alaih.
Sumber: http://www.al-atsariyyah.com/gambaran-pria-muslim-di-rumahnya.html

Nasehat Seorang Shahibah: Jauhilah olehmu Cinta Ketenaran dan Suka Disanjung


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد
‎​”Wahai hatiku yang lemah dan penuh dengan kotoran,
Bertaqwalah kepada Allah Ta’ala. Tinggalkanlah hawa nafsu serta kedunguan. Perbanyaklah engkau beristighfar dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Berbuatlah amalan kebaikan dengan ikhlas.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya.” (Al Kahfi: 110)
Wahai diriku yang terlena,
Perbaikilah batinmu. Tidaklah bermanfaat engkau menampakkan konsisten di atas sunnah, padahal ternyata hatimu gelap, riya, atau tidak ikhlas. Maka kumpulkanlah ikhlas dan ittiba’ dalam beramal.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah berkata (Shaidul Khathir I/206) :
فمن أصلح سريرته فاح عبير فضله و عبقت القلوب بنشر طيبه فا الله الله في السرائر فإنه ما ينفع مع فسادها صلاح ظاهر
“Barangsiapa yang memperbaiki batinnya, maka akan tersebarlah keutamaannya yang banyak dan hati akan terus menebarkan kebaikannya. Maka hati-hatilah, jagalah batin kalian, karena jika batin telah rusak maka tidak akan bermanfaat lagi kebaikan amaliah yang tampak.”
Jauhilah olehmu cinta ketenaran dan suka disanjung. Karena cinta ketenaran merupakan (penyakit) yang paling akhir keluar dari hati orang-orang shalih.
Kita adalah umat yang mahkumah (diatur) marhumah (disayangi) dengan karunia Allah Ta’ala. Datang kepada kita syari’at yang bersih, murni, jelas, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.
Ilmu yang dipelajari merupakan pintu yang besar, yang bisa mengantarkanmu kepada al-jannah. Maka perhatikanlah! Hendaknya ikhlas dalam menempuh jalan ini, dan mengikuti jejak Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang. Bahkan Allah Ta’ala membalasnya dengan jauh lebih baik dari apa yang dikerjakan.
Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengampuni kekurangan-kekurangan diri yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin.
Aamiin, Yaa Rabbal ‘aalamiin.
>> Nasehat yang penuh hikmah dari seorang shahibah, Ummu Muhammad. Barakallaahu fiyhaa

Awas! Bahaya HP bagi Para Wanita


Para wanita itu adalah orang-orang yang kurang akal dan kurang agamanya. Oleh karena itulah disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Abu Sa’id Al Khudriradhiyallahu ‘anhu berkata :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في أضحى أو فطر إلى المصلى، فمر علىنساء فقال : يا معشر النساء تصدقن فإني أريتكن أكثر أهل النار .فقلن :وبميارسول الله؟! قال : تكثرين اللعن وتكفرن العشير، ما رأيت من ناقصات عقلودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن! قلن ومانقصان ديننا وعقلنايارسول الله؟ قال : أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل؟ قلن :بلى. قال: فذلك من نقصان عقلها.أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟ قلن : بلى. قال: فذلك من نقصان دينها
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari ‘Idul Adha atau ‘Idul Fithri menuju mushalla, kemudian beliau melewati sekumpulan wanita, maka beliau pun bersabda : “Wahai sekalian wanita, bershadaqahlah kalian, karena sungguhnya aku melihat kalian adalah penghuni an- nar (neraka) yang paling banyak.” Mereka (para wanita tadi) bertanya: “Mengapa bisa demikian wahaiRasulullah?” Beliau bersabda : Kalian banyak melakukan caci maki dan membangkang padas uami. Dan aku tidak pernah melihat (manusia) yang kurang akal dan agamanya namun mempermainkan akal kaum pria yang bijak dari pada kalian. Mereka (para wanita) berkata : ‘Apa yang dimaksud dengan kurangnya agama dan akal pada kami wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: Bukankah persaksian seorang wanita itu sama dengan setengah persaksian seorang laki-laki? Kami mengatakan : ‘Ya, benar.’ Beliau bersabda: Itulah di antara bentuk kurang akalnya. Dan bukankah seorang wanita jika haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab: ‘Ya, benar.’ Beliau bersabda: Itulah di antara bentuk kurang agamanya.(HR. Al-Bukhari 298, Muslim 80)
Bahaya alat (HP) ini bagi para wanita sangatlah besar, terutama pada sesuatu yang bisa menimbulkan fitnah dan tipu daya. Dan juga pada perkara yang terkadang mengejutkan berupa kalimat-kalimat manis, yang tampak dari luar itu seolah-olah merupakan rahmah (kasih sayang) namun pada hakekatnya ituadalah adzab. Sebagian wanita terkadang tidak mampu bersikap dengan tepat ketika menghadapi hal-hal yang demikian, bahkan terkadang terpengaruh olehnya. Ini terutama menimpa sebagian pemudi yang sudah mencapai masa pubertas, yang mereka itu tidak bisa melihat perkara yang bermanfaat/positif bagi diri mereka sendiri tanpa adanya perhatian dan pengawasan dari orang orang yang mengurusi (wali-wali) mereka, yaitu anak-anak yang tidak membentengi dirinya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Memberikan kesempatan kepada seorang wanita untuk memegang HP, sehingga HP tersebut terus bersama dia, baik di kamarnya, di jalan, pasar dalam keadaan tanpa adanya pengawasan dan perhatian dari walinya dari kalangan orang-orang yang bertaqwa, sehingga mereka bebas menelepon danberbicara dengan siapa saja sekehendaknya, berkawan dengan siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, janjian dengan mereka, — kecuali wanita yang memang Allah beri rahmat kepada mereka — , maka ini wahai ummat Islamadalah peringatan penting.
Sungguh wanita itu sangat lemah, dia sangat mudah larut dan rusak di tengah tengah fitnah ini, dan syaithan mempermainkan mereka semaunya.
Seruan Penting Kepada Setiap Wanita ‘Afifah (yang menjaga kehormatannya)
Kegembiraan apa yang lebih besar daripada ketika Allah memberikan hidayah kepada engkau? Sungguh engkau mendapat kemuliaan setelah merasakan kehinaan, ketinggian setelah kerendahan, bagaimana keadaan wanita dahulusebelum masa Islam dan bagaimana keadaannya setelah Islam! Allah memuliakan wanita, baik ibu, saudara perempuan, anak perempuan, istri, dan kerabat yang barangsiapa menyambung tali kekerabatan (silaturrahim), makaAllah akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutusnya, maka Allah kan memutusnya.
Maka apakah yang diinginkan oleh para penyeru kebebasan (emansipasi)wanita?! Apakah (dengan syariat Islam) ini wanita menjadi terkekang di bawah agama Islam?! Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Kita perhatikan, fenomena yang tampak pada umat ini berupa kerusakan dan telanjangnya sebagian wanita, serta tampilnya sebagian mereka di layar HP dengan berbagai perhiasannya dalam keadaan menari, dan sebagian mereka tampil dalam kondisi telanjang yang sangat memalukan, tidak pernah dijumpai yang seperti ini di negeri-negeri kaum muslimin. Bahkan hal yang seperti ini berasal dari negeri-negeri kafir. Kita memohon kepada Allah keselamatan.
Dan termasuk yang serupa dengan perkara tersebut adalah munculnya sebagaian wanita sebagai bintang iklan, maka di manakah rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala?! Tidakkah kamu ingat -wahai hamba Allah- hari kematian engkau, di saat pergimeninggalkan dunia ini untuik menuju akhirat?!
Tidakkah kamu ingat ketika menghadap Allah Ta’ala besok dan Dia menanyai engkau tentang apa yang kamu lakukan tersebut?! Bagaimana jawabanmu pada hari itu?!
Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=379

Apakah Masuk Neraka Bagian dari Takdir?

Posted by Ummu 'Ammar in Aqidah, Tanya Jawab.
Tags: , , , , ,
trackback

Tanya:
Assalamu ‘alaikum. Saya ingin bertanya, bukankah takdir seseorang telah ditentukan oleh Allah (hidup, masa depan, dan mati). Tapi apakah Allah juga menakdirkan seseorang masuk neraka karena sudah ditakdirkan mati dengan cara bunuh diri. Demikian pertanyaan saya, mohon dijawab supaya tidak hanya jadi angan-angan saya. Terima kasih. Wassalam.
Jawab:
Dijawab oleh Abu Yusuf Abdurrahman :
Wa’alaikumussalam. Seluruh takdir manusia telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh semenjak sebelum diciptakannya langit dan bumi sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ’anhuma, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menuliskan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.” Allah mengetahui semua perkara hamba baik secara global maupun secara rinci.
Allah juga telah menetapkan siapa saja yang akan masuk ke dalam surga dan siapa saja yang akan masuk ke dalam neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (١١٩)

“Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, ‘Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.’”[Hud:119].
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menetapkan dalam Qadha` dan Qadar-Nya (takdir-Nya) -didasari Ilmu-Nya yang sempurna dan Kebijaksanaan-Nya yang luas- bahwa sebagian makhluk-Nya ada yang berhak untuk masuk ke dalam surga dan ada pula yang berhak masuk ke dalam neraka.”
Demikanlah, Dia telah menetapkan siapa yang masuk ke dalam neraka karena Dia telah mengetahui bahwa hamba itu akan bermaksiat kepada-Nya. Inilah keadilan Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat Yang Maha Mengetahui segala urusan hamba-Nya.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa jangan sampai seseorang berdalih dengan takdir untuk melegalkan perbuatan maksiat yang dia lakukan atau meninggalkan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Rasulullah r bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ: اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ

“Tiada seorang pun kecuali telah ditetapkan tempatnya di neraka atau di surga.” Maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bergantung kepada ketentuan yang telah dituliskan untuk diri kita dan kita meninggalkan beramal?” Rasulullah pun menjawab, “Beramallah! Setiap orang dimudahkan untuk apa yang dia diciptakan. Adapun orang yang berbahagia, maka dia akan dimudahkan untuk mengamalkan orang yang berbahagia. Adapun orang yang sengsara, maka dia akan dimudahkan untuk mengamalkan perbuatan orang yang sengsara.” [H.R. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali radhiyallahu ’anhu].

Menghindari Kemungkaran di Penghujung Tahun

Posted by Ummu 'Ammar in Aqidah, Fatwa.
Tags: ,
trackback

Ternyata tidak sedikit kaum muslimin yang masih belum mengerti bagaimana hukum mengucapkan selamat natal atau hari-hari raya orang kafir lainnya. Hal ini nampak dari banyaknya kaum muslimin yang masih saja memberikan ucapan selamat, bergembira, dan bahkan ikut merayakan hari raya yang jatuh pada setiap penghujung tahun masehi tersebut, tidak terkecuali tahun ini.
Oleh karena itulah, kami akan menampilkan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ dan Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang permasalahan ini.
Tepat sepekan setelah hari natal, ada momen besar lainnya yang umat Islam sangat rawan untuk terjatuh kepada kemungkaran dan pelanggaran syar’i di dalamnya, yaitu tahun baru. Sehingga tidak lupa kami juga menampilkan hukum merayakannya sebagaimana yang telah difatwakan oleh para ulama.
Hukum Mengucapkan Selamat Kepada Orang-Orang Nashara pada Hari Raya Mereka
Pertanyaan:
Bagaimana hukum Islam tentang mengucapkan selamat kepada orang-orang nashara pada hari raya mereka, karena saya mempunyai paman yang bertetangga dengan seorang nashrani, dan paman saya ini memberikan ucapan selamat kepadanya ketika bergembira maupun ketika hari raya. Dan sebaliknya si nashrani tersebut juga mengucapkan selamat kepada paman saya ketika bergembira, ketika hari raya, atau pada kesempatan lain. Apakah ini diperbolehkan: ucapan selamat seorang muslim kepda nashrani dan nashrani kepada seorang muslim ketika hari raya-hari raya maupun saat-saat bergembira?
Jawaban:
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang nashrani ketika hari raya-hari raya mereka, karena yang demikian itu merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan kita dilarang untuk itu. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Sebagaimana juga disebabkan karena padanya (ucapan selamat tersebut) terdapat unsur kasih sayang kepada mereka, mengharap kecintaan, dan mengesankan sikap ridha kepada mereka dan syi’ar-syi’arnya, maka ini tidak diperbolehkan.
Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan kebencian yang nyata kepada mereka, karena mereka telah memerangi Allah jalla wa’ala dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, dan mereka telah menjadikan (menganggap) bagi Allah (memiliki) istri dan anak. Allah ta’ala berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ.
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
Dan firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Wabillahittaufiq.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ III/313]
Hukum Memberikan Ucapan Selamat Natal
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. Dan bagaimana kita menjawab jika mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah diperbolehkan pergi ke tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan hal tersebut tanpa disengaja, akan tetapi dilakukan sekadar basa-basi, karena malu, terpaksa, atau sebab yang lain? Apakah diperbolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?
Jawaban:
Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya terkait dengan perayaan keagamaan mereka telah disepakati keharamannya. Sebagaimana dinukil dari Ibnul Qayyim rahimahullahdalam kitabnya (Ahkamu Ahli Adz-Dzimmah), di mana beliau mengatakan:
“Dan adapun ucapan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran secara khusus, maka telah disepakati keharamannya. Misalnya mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan: ‘Hari raya yang diberkahi bagimu’atau ‘Selamat merayakan hari raya ini’ dan yang semisalnya. Yang demikian ini, meskipun yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, namun perbuatan ini termasuk yang diharamkan. Hal ini sejajar dengan ucapan selamat terhadap sujudnya (seorang nashrani) terhadap salib, bahkan hal ini dosanya lebih besar di sisi Allah, dan lebih besar kemurkaan-Nya daripada ucapan selamat terhadap perbuatan minum khamr, bunuh diri, zina, dan yang lainnya, dan banyak orang yang tidak kokoh agamanya terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan tersebut dan tidak tahu kejelekan perbuatannya. Sehingga barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba dengan suatu kemaksiatan, bid’ah, atau kekufuran, maka dia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.”
-selesai perkataan beliau-.
Haramnya mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir terhadap hari raya agama mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim tersebut, karena padanya terkandung pengakuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridha terhadapnya walaupun dia tidak ridha hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Walaupun demikian, seorang muslim diharamkan untuk ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar tersebut, karena Allah subhanahu wata’ala tidak meridhainya, sebagaimana firman Allahta’ala:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ.
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar: 7)
Dan firman Allah ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.
“Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (Al-Ma’idah: 3).
Maka mengucapkan selamat kepada mereka hukumnya haram, sama saja apakah ikut serta dalam pelaksanaannya ataupun tidak.
Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, maka kita tidak perlu menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya itu tidak diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala, karena itu merupakan kebid’ahan pada agama mereka atau memang itu disyari’atkan dalam agama mereka akan tetapi sesungguhnya telah dimansukh (dihapus) dengan agama Islam yang Allah mengutus dengannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk semua makhluk. Allah ta’ala telah berfirman tentangnya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran : 85)
Haram hukumnya seorang muslim membalas ucapan selamat dari mereka, karena ini lebih besar daripada mengucapkan selamat kepada mereka disebabkan padanya terdapat unsur keikutsertaan dia dalam perayaan tersebut.
Demikian juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang kafir dengan mengadakan perayaan-perayaan hari raya, atau tukar-menukar hadiah, membagi-bagikan gula-gula, piring berisi makanan, meliburkan kerja dan yang semisalnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim Mukhalafah Ash-hab Al-Jahim mengatakan:
“Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya mereka akan melahirkan kesenangan pada hati mereka dengan kebatilan yang ada padanya, … bahkan bisa jadi ambisi mereka dalam perayaan tersebut untuk dijadikan kesempatan dalam mengina dan menyesatkan orang-orang yang lemah.”
-selesai perkataan beliau rahimahullah-.
Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut, maka dia berdosa, sama saja apakah dia melakukannya itu sekadar basa-basi atau karena kecintaan padanya, karena malu, atau sebab-sebab yang lainnya, karena ini merupakan sikap menyepelekan agama Allah dan termasuk sebab mantapnya jiwa orang-orang kafir dan bangganya mereka terhadap agamanya.
Hanya Allah-lah tempat meminta permohonan agar Dia memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, menganugerahi mereka kekokohan dan menolong mereka terhadap musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il III/44 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin]
Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=417
Adeyusf" target="_blank title="Follow Me on Twitter">